Senin, 03 April 2017

Filsafat Ketuhanan dalam Islam




Filsafat Ketuhanan dalam Islam
*      Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56).
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
*      Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1.        Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
  • Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
  • Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
  • Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
  • Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
  • Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain). Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b.Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d.Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
*      Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
  1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang  ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku  dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
*      Pembuktian Wujud Tuhan
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan:  Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak dan Kesempurnaan mutlak yang sama sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya tiada duanya. Dia memiliki kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan mengetahui segala sesuatu kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, memiliki kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu, Sumber segala kebaikan, Mencintai dan Pengasih kepada seluruh makhluk.Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian sedernahanya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh mereka  yang menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat Tuhan mustahil bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah klasifikasi umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
1.     Jalan rasional (Burhan Imkan dan Wujub)
2.     Jalan empirik (Argumen Keteraturan)
3.     Jalan hati (Argumen Fitrah)
Jalan terbaik dan termudah adalah melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan melalui hati). Melalui argumen fitrah ini, manusia kembali kepada dirinya, ia tidak lagi memerlukan argumentasi rasional atau observasi empirik untuk dapat menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan hati ini ia sampai kepada Tuhan.
Untuk menjelaskan jawaban kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin penting berikut ini:
1.     Konsep tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari wujud Tuhan. Konsep ini terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah Pencipta seluruh entitas dan eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup dan seterusnya,  kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan seperti ini.
2.     Meski konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum, namun mengenal hakikat dan esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat Tuhan adalah nir-batas dan tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas sehingga tidak mungkin baginya memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. “Laa yuhithuna bihi ‘Ilman.” (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya, Qs. Thaha [20]:110) Boleh jadi atas dalil ini, al-Qur’an dalam memperkenalkan Tuhan menjelaskan sifat-sifat jamal dan jalal seperti Maha Kaya, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Sayang, Maha Kasih, Maha Pencipta dan sebagainya. Di samping itu, melalui media empirik  manusia dapat membina interaksi dengan benda-benda luaran dan memperoleh pengetahuan baginya sementara tidak ada yang semisal dan serupa dengan Tuhan Yang Mahakuasa, laisa kamtislihi syai..” (Tiada sesuatu apa pun yang menyerupainya, Qs. Syura [26]:11)
3.     Meski hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi manusia melalui banyak jalan dapat memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan Yang Mahakuasa yang dapat dibagi menjadi beberapa jalan:
A.    Jalan rasional seperti burhân imkan dan wujub
B.    Jalan empirik dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhân nazhm)
C.    Jalan hati atau argumen fitrah.
4.     Jalan termudah dan terbaik untuk mengenal wujud Tuhan adalah jalan hati atau melalui argumen fitrah. Artinya pada lubuk hati manusia yang paling dalam terpendam pengenalan, kecenderungan dan kecintaan kepada Tuhan. Dalam diri manusia senantiasa terdapat poin nurani dan satu daya magnetis yang kuat dalam hati manusia yang merajut hubungan dengan dunia metafisika dan merupakan sedekat-dekat jalan menuju kepada Tuhan.
5.     Kendati mengenal Tuhan dan kecendrungan terhadap-Nya dan cahaya tauhid senantiasa terpendam dalam jiwa setiap manusia akan tetapi dengan adanya adab dan tradisi khurafat, pengajaran yang salah, kelalaian dan kesombongan, khususnya tatkala merasa sehat bugar dan sejahtera, maka terbentang tirai yang tebal dan lebar bagi manusia. Namun tatkala badai persoalan datang menghantam, tatkala manusia memutuskan seluruh harapannya pada segala sebab-sebab lahir dan memotong harapan dari segalanya, pada saat seperti ini seluruh tirai tebal dan lebar itu akan tersingkap dan cahaya hati akan memendar. Semakin pikiran yang terkontaminasi dengan kesyirikan teramputasi dari hati dan menjadi murni dengan pelbagai kejadian ini  maka mau-tak-mau manusia tergiring menuju dunia metafisika.
Atas dasar ini, terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang menandaskan bahwa melalui jalan ini, manusia akan mengingat nikmat fitrah dalam mencari Tuhan.
Para pendahulu Islam juga merupakan orang-orang yang acapkali tenggelam dalam keraguan dalam masalah pengenalan kepada Tuhan dengan jalan ini mereka akan terbimbing sebagai contoh perisitwa sejarah berikut ini:
Seseorang yang bingung dalam masalah makrifatullah mengalami keraguan dan sangsi, datang kepada Imam Shadiq As dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Bimbinglah Aku untuk mengenal siapa Tuhan itu? Lantaran was-was telah menguasai dan mencengkram diriku. Imam bersabda, “Wahai hamba Allah! Apakah engkau pernah menaiki bahtera? Katanya, Iya, Pernah. Imam kemudian melanjutkan, “Apakah bahtera (yang pernah engkau naiki) itu rusak dan ketika itu tiada satu pun bahtera yang dapat menyelamatkanmu dan engkau tidak mampu berenang? Katanya, “Iya.” “Dalam kondisi seperti itu apakah hatimu tidak bersandar pada satu entitas yang dapat menyelamatkanmu dari kebinasaan?” sabda Imam Shadiq As. Kata orang itu, “Iya.” Imam Shadiq As bersabda, “Dialah Tuhan yang mampu menyelamatkanmu tatkala tiada satu pun yang mampu menyelamatkanmu atau mendengar suaramu meminta pertolongan.
Kesimpulannya bahwa setiap manusia memiliki makrifat, pengetahuan dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha Kuasa, Berilmu, Pencipta, Hidup dan Pengasih dan seterusnya melalui jalan hati dan fitrah. Dan apabila ia lalai dari wujud Tuhan lantaran pelbagai pengaruh, namun ia tidak dapat mengingkari dalam kehidupannya sebuah peristiwa tidak terjadi dan seluruh harapannya terputus dari segala sesuatu, dan perhatiannya tidak jatuh kepada wujud Tuhan.
6.     Terkadang seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran teliti dalam sifat-sifat dan hubungan-hubungan pelbagai fenomena empirik maka ia akan terbimbing kepada wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, hikmah, kudrah. Jalan ini, yang berpijak pada penyaksian alam natural dan telaah empirik seluruh fenomena natural disebut sebagai jalan empirik. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan tipikal jalan ini, al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap masalah observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk merenungi fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya, yang sekedudukan dengan tanda-tanda dan ayat-ayat takwini Tuhan. Sebagian periset Muslim, dengan bersandar pada salah satu tipologi alam natural yaitu desain dan keteraturan, mengemukakan sebuah argumentasi atas wujud Tuhan. Argumentasi seperti ini umumnya disebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Atas dasar itu, kita dapat menjadikan argumen keteraturan sebagai contoh nyata untuk mengenal Tuhan melalui jalan empirik.
Mengenal “Ayat“dalam al-Qur’an dan Riwayat
Pada beberapa tempat al-Qur’an, kita dapat menjumpai beberapa ayat (tanda-tanda) yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena natural. Fenomena-fenomena tersebut merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan dan mengajak manusia untuk memikirkan dan merenunginya. Mengenal Tuhan melalui fenomena merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang merupakan contoh nyata jalan empirik terkadang disebut sebagai “pengenalan ayat dan afaqi.”
Sekelompok ayat-ayat lainnya, menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat takwini Ilahi dan keteraturan yang berlaku pada alam keberadaan dan pada wujud manusia, merupakan dalil dan pedoman yang akan membimbing orang-orang yang berakal kepada Sumber Transendental: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21)
Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang fenomena tertentu dan hal itu dipandang sebagai ayat dan tanda atas keberadaan, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Ayat-ayat ini sedemikian banyak sehingga menyebutkan ayat-ayat tersebut memerlukan ruang dan waktu yang lain.
Para pemimpin agama juga menekankan metode al-Qur’an pada “pengenalan ayat” Ilahi. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis kompleks dari Imam Shadiq As yang bertutur-kata kepada salah seorang sahabatnya.“Wahai Mufaddhal! Pelajaran dan dalil pertama atas eksistensi Sang Pencipta adalah pembentukan, pengumpulan bagian-bagian dan keteraturan penciptaan di alam ini. Oleh karena itu, jika engkau berfikir dengan baik dan benar mengenai alam ini, engkau akan dapatkan segala sesuatunya seperti Anda mendapatkan rumah dan istana yang didalamnya telah tersedia seluruh kebutuhan-kebutuhan hamba Tuhan. Langit seperti atap, yang diletakkan dengan tingginya, bumi seperti permadani yang telah dihamparkan, bintang-bintang seperti lampu-lampu yang telah disiapkan, mutiara-mutiara seperti cadangan yang tertimbun di dalamnya, dan segala sesuatunya terletak dalam tempatnya sendiri secara sempurna. Kita  juga seperti orang yang diberikan rumah ini, dan segalanya diserahkan dalam ikhtiar kita. Segala jenis tumbuhan dan hewan disiapkan untuk kita untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan.” Segala hal di atas adalah dalil bahwa alam keberadaan ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah, teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta sesuatu itu adalah satu, Dialah yang Maha Pengatur, Pencipta keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.
7.     Jalan Akal
Pada jalan ini, keberadaan Tuhan ditetapkan dengan premis-premis, kaidah dan metode yang murni rasional. Argumen-argumen dan dalil-dalil filosofis merupakan contoh-contoh nyata analisa-analisa akal dalam menetapkan wujud Tuhan. Jalan ini dibandingkan dengan dua jalan yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa tipologi dan karakteristik tersendiri sebagaimana berikut ini:
1.     Kebanyakan argumentasi dan elaborasi rasional untuk menetapkan wujud Tuhan, lantaran berjalin berkelindan dengan pembahasan-pembahasan pelik dan jeluk filosofis sehingga tentu tidak terlalu berguna bagi mereka yang tidak familiar dengan pembahasan filsafat.
2.     Salah satu keunggulan jalan akal adalah dapat digunakan sebagai jawaban ilmiah atas pelbagai keraguan yang dilontarkan oleh kaum atheis dan juga pada tingkatan ekspostulasi (ihtijaj) dan debat, jalan akal ini dapat membongkar kelemahan dan kerapuhan argumen-argumen para pengingkar,serta menjawab pelbagai tantangan rasionalitas yang tidak dapat dijawab kecuali dengan argumen-argumen rasional.
3.     Jalan rasional untuk menetapkan keberadaan Tuhan dapat berfungsi konstruktif dalam proses penguatan iman seseorang; karena bilamana akal seseorang tunduk di hadapan kebenaran maka qalbu dan hati juga akan mengikuti. Dari sisi lain, peran argumentasi dan inferensi rasional sangat signifikan dalam menguatkan iman seseorang dan juga dalam mengeliminir sangsi dan keraguan.
 Dengan memperhatikan performa tipikal jalan rasional dari satu sisi dan dengan memperhatikan kecenderungan fitrawi pikiran kuriositas manusia terhadap pembahasan-pembahasan jeluk rasional dan filosofis dari sisi lainnya, karena itu cendekiawan Muslim melakukan riset-riset mendalam pada bidang teologi rasional dimana sebagian dari riset tersebut berujung pada pendirian argumen-argumen baru untuk menetapkan keberadaan Tuhan atau menyempurnakan argumen-argumen sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang paling kokoh dalam menetapkan keberadaan Tuhan adalah argumen yang dikenal sebagai burhan wujub dan imkan. Argumen ini telah diulas dalam beberapa model yang akan kita sebutkan salah satu dari ulasan tersebut di sini.
Argumen wujub dan imkan (sesuai dengan salah satu ulasan yang ada) dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Di alam luaran (khârij) sudah barang tentu dan niscaya terdapat sebuah entitas (realitas). Apabila entitas ini Wâjib al-Wujûd maka ideal kita tertetapkan (dimana Wajib al-Wujud ini adalah wujud Tuhan itu sendiri) dan apabila entitas tersebut  adalah mumkin al-wujud (contigen being), mengingat kebutuhannya terhadap sebab dan kemustahilan tasalsul (infinite circle) dan daur (circular reasoning), maka ia membutuhkan entitas yang wujudnya bukan merupakan akibat dari entitas lainnya dan entitas semacam ini adalah Wâjib al-Wujûd (baca: Tuhan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah PCR

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Bioteknologi diartikan sebagai penerapan prinsip ilmu dan rekayasa dalam pemanfaatan mak...