Masyarakat
Madani dan Kesejahteraa Umat
A. PENGERTIAN DAN KONSEP MASYARAKAT MADANI
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Pemaknaan civil society
sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah
yang dibangun Nabi Muhammad. Perbedaan antara civil society dan masyarakat
madani adalah civil society merupakan buah modernitas, dan gerakan masyarakat
sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Maka dapat dikatakan masyarakat madani adalah
masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju
dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta menjunjung tinggi
nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
1. Masyarakat Madani dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam
sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: Masyarakat Saba’
(masyarakat di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah, perjanjjian Madinah
antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama
Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah
berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasullullah SAW sebagai pemimpin, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.[1][1]
2. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani,
diantaranya:
a.
Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
b.
Menyebarnya
kekuasaan sehingga terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara.
c.
Dilengkapinya
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
d.
Meluasnya
kesetiaan dan kepercayaan dan tidak mementingkan diri sendiri.
e.
Damai dan
individu maupun kelompok menghormati pihak lain secara adil.
f.
Toleran dan
tolong menolong antar sesama
g.
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
h.
Berperadaban
tinggi, misalnya kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
i.
Bertuhan dan
berakhlak mulia
Meski Alquran tidak menyebutkan
secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau
petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam
sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang
ideal kita dapat meneladani Rasulullah dalam menumbuhkembangkan konsep
masyarakat madani di Madinah.
B. PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN
MASYARAKAT MADANI
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
1. Kualitas SDM Umat Islam
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran
ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok
manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah
keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
2. Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam
±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan
peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum
Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai
Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
C. SISTEM EKONOMI ISLAM DAN KESEJAHTERAAN UMAT
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan
manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid
(keesaan Allah). Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak
dapat diterima dalam Islam melainkan hanya milik Allah saja, sedangkan manusia
hanyalah memiliki hak milik nisbi atau relatif. Pernyataan dan batas-batas hak
milik dalam Islam sesuai dengan sistem keadilan hak-hak semua pihak yang
terlibat di dalamnya.
Islam mempunyai dua prinsip utama,
yakni pertama, tidak seorangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan
kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain
dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja.
Sebagaimana dalam QS. al-Syu’ara ayat 183, artinya: “Janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan.”
Dalam komitmen Islam yang khas dan
mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial. Akan tetapi,
konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang
keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang
sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah
sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl
ayat 71 disebutkan, yang artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari
sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka
miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.”
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh
menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau
kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah. Sebagaimana Firman
Allah dalam QS. An-nisa ayat 114, yang artinya: “Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena
mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang
harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan manusia dalam masyarakat. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu dengan
baik, maka hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Amiin....
D. MANAJEMEN ZAKAT
1. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat dibebankan atas harta yang
telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan
syarat-syarat tertentu. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam
yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah
mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat
berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Menurut
istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq.” Zakat merupakan
pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan
kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Allah telah berfirman dalam QS.
al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa
yang kamu kerjakan”.
Adapun harta-harta yang wajib
dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak, harta
perdagangan, harta galian (harta rikaz).
Sedangkan orang-orang yang berhak
menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Fi
sabilillah, Ibnussabil.[2][3]
2. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memasuki Indonesia,
zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber-sumber dana untuk pengembangan
ajaran Islam. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk
melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938
pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi
pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda
melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan
zakat. Hal itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di
kalangan umat Islam. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh
satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru
barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari
anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien
serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang
lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di
berbagai provinsi.
3. Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang
kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan
pengelolaan zakat secara produktif, Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan
masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola zakat,
infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat.
Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan
beberapa prinsip, antara lain:
a.
Pengelolaan
harus berlandasakn al Quran dan as Sunnah.
b.
Keterbukaan.
c.
Menggunakan
manajemen dan administrasi yang tepat.
d.
Badan/lembaga
amil zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Dan amil harus berpegang teguh pada
tujuan pengelolaan zakat, yaitu:
a.
Mengangkat
harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan
penderitaan.
b.
Membantu
pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
c.
Menjembatani
antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
d.
Meningkatkan
syiar Islam
e.
Mengangkat
harkat dan martabat bangsa dan negara.
4. Hikmah Ibadah Zakat
Zakat memiliki hikmah yang besar.
Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan
membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai
pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik, zakat memberikan
harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri,
dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si
kaya dan si miskin dapat dihilangkan. Dan bagi masyarakat muslim, melalui zakat
akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam.
E. MANAJEMEN WAKAF
Wakaf di satu sisi berfungsi sebagai
ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Dalam
fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di
kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat
bernilai dalam pembangunan umat.
1. Pengertian Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb”
artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah memberikan sesuatu
barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta tetap
bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan
(yang meneriman wakaf). Sebagaimana hadits: Abu Hurairah r.a. menceritakan,
bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka
terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah
jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).
2. Rukun Wakaf
a.
Yang
berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri
b.
Sesuatu yang
diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.
c.
Tempat
berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
d.
Lafadz
wakaf.
3. Syarat Wakaf
a.
Ta’bid,
yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
b.
Tanjiz,
yaitu diberikan waktu ijab kabul.
c.
Imkan-Tamlik,
yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.
4. Hukum Wakaf
Pemberian wakaf tidak dapat ditarik
kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf yang ikhlas karena
Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat
dimanfaatkan oleh umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar