Filsafat Ketuhanan dalam Islam

Perkataan ilah, yang
diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek
yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah):
23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai
oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas
menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda,
baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini),
dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah
sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan
hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah
sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan
diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56).
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak
mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran,
setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa
Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada
Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu
berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan
terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu
Allah.

1.
Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah,
baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur
sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya
proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses
perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai
berikut:
- Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia,
ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan
yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia),
tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang
tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia
dapat dirasakan pengaruhnya.
- Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh
karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan
ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia
harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun
adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
- Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari
yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
- Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak
mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia
meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu
dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah)
bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan Tingkat Nasional).
- Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam
tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan
terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877),
ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat
primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak
mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka
berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang
melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat
Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran
yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan
metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual
sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam
yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga
lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.
Aliran tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim,
serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan
keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan
tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal
manzilatain). Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan.
Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan
kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah
lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawarij.
b.Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah
berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan
berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d.Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada
di antara Qadariah dan Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan
pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada
prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran
dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara
aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan
ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran
dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

Pengkajian manusia tentang Tuhan,
yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia,
tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga
informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan
sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan
antara lain tertera dalam:
- QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi
petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep
tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui
Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa
para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan
ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia.
Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan
kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah
Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya
syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut,
jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal
name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan
dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal
ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65,
surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang
Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga.
Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan
Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha
ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan
tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi
Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah
tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal
ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi.
Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal
dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia
tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam,
yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber
dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk
mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan
praktik menjalani kehidupan.

1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap
agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat
melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam
di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada
analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama
batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga
tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu,
walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak
menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah
diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap
sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah,
tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula
suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan
benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah
metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan
yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang
disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara
langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang
pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature),
dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu:
“Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan
penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli
teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa
agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya
kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan
kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang
lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir
dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri
luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang
sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan
iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa
hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang
diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah
satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu,
sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang
ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati.
Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan
interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para
sarjana.
2. Keberadaan Alam
Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang
menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan
bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak
ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya
pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara
logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan:
<<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah
suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya,
pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam
semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak
dan Kesempurnaan mutlak yang sama sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya
tiada duanya. Dia memiliki kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan
mengetahui segala sesuatu kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar dan
Maha Melihat, memiliki kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu,
Sumber segala kebaikan, Mencintai dan Pengasih kepada seluruh makhluk.Konsep
Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian sedernahanya
sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh mereka yang
menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat Tuhan mustahil
bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh keyakinan terhadap wujud
Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah klasifikasi umum dapat
dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Jalan
rasional (Burhan Imkan dan Wujub)
2. Jalan
empirik (Argumen Keteraturan)
3. Jalan
hati (Argumen Fitrah)
Jalan terbaik dan termudah adalah
melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan melalui hati). Melalui argumen fitrah ini,
manusia kembali kepada dirinya, ia tidak lagi memerlukan argumentasi rasional
atau observasi empirik untuk dapat menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan
hati ini ia sampai kepada Tuhan.
Untuk menjelaskan jawaban kiranya
kita perlu memperhatikan beberapa poin penting berikut ini:
1. Konsep
tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang dapat dipahami dengan mudah oleh
setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari wujud Tuhan. Konsep ini
terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah
Pencipta seluruh entitas dan eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh
perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar,
Maha Hidup dan seterusnya, kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan
seperti ini.
2. Meski
konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum, namun mengenal hakikat dan
esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat Tuhan adalah nir-batas dan
tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas
sehingga tidak mungkin baginya memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. “Laa
yuhithuna bihi ‘Ilman.” (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi
ilmu-Nya, Qs. Thaha [20]:110) Boleh jadi atas dalil ini, al-Qur’an dalam
memperkenalkan Tuhan menjelaskan sifat-sifat jamal dan jalal seperti Maha Kaya,
Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha
Sayang, Maha Kasih, Maha Pencipta dan sebagainya. Di samping itu, melalui media
empirik manusia dapat membina interaksi dengan benda-benda luaran dan memperoleh
pengetahuan baginya sementara tidak ada yang semisal dan serupa dengan Tuhan
Yang Mahakuasa, laisa kamtislihi syai..” (Tiada sesuatu apa pun yang
menyerupainya, Qs. Syura [26]:11)
3. Meski
hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi manusia
melalui banyak jalan dapat memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan Yang
Mahakuasa yang dapat dibagi menjadi beberapa jalan:
A. Jalan rasional
seperti burhân imkan dan wujub
B. Jalan empirik
dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhân nazhm)
C. Jalan hati atau
argumen fitrah.
4. Jalan
termudah dan terbaik untuk mengenal wujud Tuhan adalah jalan hati atau melalui
argumen fitrah. Artinya pada lubuk hati manusia yang paling dalam terpendam
pengenalan, kecenderungan dan kecintaan kepada Tuhan. Dalam diri manusia
senantiasa terdapat poin nurani dan satu daya magnetis yang kuat dalam hati
manusia yang merajut hubungan dengan dunia metafisika dan merupakan
sedekat-dekat jalan menuju kepada Tuhan.
5. Kendati
mengenal Tuhan dan kecendrungan terhadap-Nya dan cahaya tauhid senantiasa
terpendam dalam jiwa setiap manusia akan tetapi dengan adanya adab dan tradisi
khurafat, pengajaran yang salah, kelalaian dan kesombongan, khususnya tatkala
merasa sehat bugar dan sejahtera, maka terbentang tirai yang tebal dan lebar
bagi manusia. Namun tatkala badai persoalan datang menghantam, tatkala manusia
memutuskan seluruh harapannya pada segala sebab-sebab lahir dan memotong
harapan dari segalanya, pada saat seperti ini seluruh tirai tebal dan lebar itu
akan tersingkap dan cahaya hati akan memendar. Semakin pikiran yang
terkontaminasi dengan kesyirikan teramputasi dari hati dan menjadi murni dengan
pelbagai kejadian ini maka mau-tak-mau manusia tergiring menuju
dunia metafisika.
Atas dasar ini, terdapat banyak ayat
dalam al-Qur’an yang menandaskan bahwa melalui jalan ini, manusia akan
mengingat nikmat fitrah dalam mencari Tuhan.
Para pendahulu Islam juga merupakan orang-orang yang
acapkali tenggelam dalam keraguan dalam masalah pengenalan kepada Tuhan dengan
jalan ini mereka akan terbimbing sebagai contoh perisitwa sejarah berikut ini:
Seseorang yang bingung dalam masalah makrifatullah
mengalami keraguan dan sangsi, datang kepada Imam Shadiq As dan berkata, “Wahai
Putra Rasulullah! Bimbinglah Aku untuk mengenal siapa Tuhan itu? Lantaran
was-was telah menguasai dan mencengkram diriku. Imam bersabda, “Wahai hamba
Allah! Apakah engkau pernah menaiki bahtera? Katanya, Iya, Pernah. Imam
kemudian melanjutkan, “Apakah bahtera (yang pernah engkau naiki) itu rusak dan
ketika itu tiada satu pun bahtera yang dapat menyelamatkanmu dan engkau tidak
mampu berenang? Katanya, “Iya.” “Dalam kondisi seperti itu apakah hatimu tidak
bersandar pada satu entitas yang dapat menyelamatkanmu dari kebinasaan?” sabda
Imam Shadiq As. Kata orang itu, “Iya.” Imam Shadiq As bersabda, “Dialah Tuhan
yang mampu menyelamatkanmu tatkala tiada satu pun yang mampu menyelamatkanmu
atau mendengar suaramu meminta pertolongan.
Kesimpulannya bahwa setiap manusia
memiliki makrifat, pengetahuan dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha
Kuasa, Berilmu, Pencipta, Hidup dan Pengasih dan seterusnya melalui jalan hati
dan fitrah. Dan apabila ia lalai dari wujud Tuhan lantaran pelbagai pengaruh,
namun ia tidak dapat mengingkari dalam kehidupannya sebuah peristiwa tidak
terjadi dan seluruh harapannya terputus dari segala sesuatu, dan perhatiannya
tidak jatuh kepada wujud Tuhan.
6. Terkadang
seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran teliti dalam sifat-sifat dan
hubungan-hubungan pelbagai fenomena empirik maka ia akan terbimbing kepada
wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, hikmah, kudrah. Jalan ini, yang
berpijak pada penyaksian alam natural dan telaah empirik seluruh fenomena
natural disebut sebagai jalan empirik. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan
tipikal jalan ini, al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap masalah
observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk
merenungi fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya, yang sekedudukan
dengan tanda-tanda dan ayat-ayat takwini Tuhan. Sebagian periset Muslim, dengan
bersandar pada salah satu tipologi alam natural yaitu desain dan keteraturan,
mengemukakan sebuah argumentasi atas wujud Tuhan. Argumentasi seperti ini
umumnya disebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Atas
dasar itu, kita dapat menjadikan argumen keteraturan sebagai contoh nyata untuk
mengenal Tuhan melalui jalan empirik.
Mengenal “Ayat“dalam
al-Qur’an dan Riwayat
Pada beberapa tempat al-Qur’an, kita dapat menjumpai beberapa
ayat (tanda-tanda) yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena natural.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan
dan mengajak manusia untuk memikirkan dan merenunginya. Mengenal Tuhan melalui
fenomena merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang
merupakan contoh nyata jalan empirik terkadang disebut sebagai “pengenalan ayat
dan afaqi.”
Sekelompok ayat-ayat lainnya,
menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat takwini Ilahi dan keteraturan yang berlaku
pada alam keberadaan dan pada wujud manusia, merupakan dalil dan pedoman yang
akan membimbing orang-orang yang berakal kepada Sumber Transendental: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran
[3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada
memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21)
Banyak ayat al-Qur’an yang
menyinggung tentang fenomena tertentu dan hal itu dipandang sebagai ayat dan
tanda atas keberadaan, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Ayat-ayat ini sedemikian
banyak sehingga menyebutkan ayat-ayat tersebut memerlukan ruang dan waktu yang
lain.
Para pemimpin agama juga menekankan
metode al-Qur’an pada “pengenalan ayat” Ilahi. Sebagai contoh, dalam sebuah
hadis kompleks dari Imam Shadiq As yang bertutur-kata kepada salah seorang
sahabatnya.“Wahai Mufaddhal! Pelajaran dan dalil pertama atas eksistensi Sang
Pencipta adalah pembentukan,
pengumpulan bagian-bagian dan keteraturan penciptaan di alam ini. Oleh karena
itu, jika engkau berfikir dengan baik dan benar mengenai alam ini, engkau akan
dapatkan segala sesuatunya seperti Anda mendapatkan rumah dan istana yang
didalamnya telah tersedia seluruh kebutuhan-kebutuhan hamba Tuhan. Langit
seperti atap, yang diletakkan dengan tingginya, bumi seperti permadani yang
telah dihamparkan, bintang-bintang seperti lampu-lampu yang telah disiapkan,
mutiara-mutiara seperti cadangan yang tertimbun di dalamnya, dan segala
sesuatunya terletak dalam tempatnya sendiri secara sempurna. Kita juga
seperti orang yang diberikan rumah ini, dan segalanya diserahkan dalam ikhtiar
kita. Segala jenis tumbuhan dan hewan disiapkan untuk kita untuk memenuhi
kebutuhan dan kemaslahatan.” Segala hal di atas adalah dalil bahwa alam
keberadaan ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah,
teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta sesuatu itu adalah satu, Dialah yang
Maha Pengatur, Pencipta
keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.
7. Jalan
Akal
Pada jalan ini, keberadaan Tuhan
ditetapkan dengan premis-premis, kaidah dan metode yang murni rasional.
Argumen-argumen dan dalil-dalil filosofis merupakan contoh-contoh nyata
analisa-analisa akal dalam menetapkan wujud Tuhan. Jalan ini dibandingkan
dengan dua jalan yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa tipologi dan
karakteristik tersendiri sebagaimana berikut ini:
1. Kebanyakan argumentasi dan
elaborasi rasional untuk menetapkan wujud Tuhan, lantaran berjalin berkelindan
dengan pembahasan-pembahasan pelik dan jeluk filosofis sehingga tentu tidak
terlalu berguna bagi mereka yang tidak familiar dengan pembahasan filsafat.
2. Salah satu keunggulan jalan
akal adalah dapat digunakan sebagai jawaban ilmiah atas pelbagai keraguan yang
dilontarkan oleh kaum atheis dan juga pada tingkatan ekspostulasi (ihtijaj)
dan debat, jalan akal ini dapat membongkar kelemahan dan kerapuhan
argumen-argumen para pengingkar,serta menjawab pelbagai tantangan rasionalitas
yang tidak dapat dijawab kecuali dengan argumen-argumen rasional.
3. Jalan rasional untuk
menetapkan keberadaan Tuhan dapat berfungsi konstruktif dalam proses penguatan
iman seseorang; karena bilamana akal seseorang tunduk di hadapan kebenaran maka
qalbu dan hati juga akan mengikuti. Dari sisi lain, peran argumentasi dan
inferensi rasional sangat signifikan dalam menguatkan iman seseorang dan juga
dalam mengeliminir sangsi dan keraguan.
Dengan memperhatikan performa tipikal jalan
rasional dari satu sisi dan dengan memperhatikan kecenderungan fitrawi pikiran
kuriositas manusia terhadap pembahasan-pembahasan jeluk rasional dan filosofis
dari sisi lainnya, karena itu cendekiawan Muslim melakukan riset-riset mendalam
pada bidang teologi rasional dimana sebagian dari riset tersebut berujung pada
pendirian argumen-argumen baru untuk menetapkan keberadaan Tuhan atau
menyempurnakan argumen-argumen sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang
paling kokoh dalam menetapkan keberadaan Tuhan adalah argumen yang dikenal
sebagai burhan wujub dan imkan. Argumen ini telah diulas
dalam beberapa model yang akan kita sebutkan salah satu dari ulasan tersebut di
sini.
Argumen wujub dan imkan (sesuai dengan salah satu
ulasan yang ada) dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Di alam luaran (khârij) sudah barang tentu dan
niscaya terdapat sebuah entitas (realitas). Apabila entitas ini Wâjib
al-Wujûd maka ideal kita tertetapkan (dimana Wajib al-Wujud ini adalah
wujud Tuhan itu sendiri) dan apabila entitas tersebut adalah mumkin
al-wujud (contigen being), mengingat kebutuhannya terhadap sebab dan
kemustahilan tasalsul (infinite circle) dan daur (circular
reasoning), maka ia membutuhkan entitas yang wujudnya bukan merupakan
akibat dari entitas lainnya dan entitas semacam ini adalah Wâjib al-Wujûd
(baca: Tuhan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar